Monday, 12 August 2019

Sejarah Perkebunan Teh Gambung



Perkebunan Teh Gambung

Sedikit asing dengan nama daerah ini, karena saya tahunya Gombong yang ada di Kebumen. Kesempatan berkunjung ke sini karena ada pekerjaan yang mengharuskan saya datang ke Gambung, beberapa waktu lalu. Ternyata, Gambung ini berada di Kabupaten Bandung, yang jaraknya kurang dari 2 jam dari kota Bandung. Berada di wilayah Ciwidey, Gambung berhawa sejuk dan cocok untuk “niis”. Suasananya pun sangat menenangkan. Rupanya, bukan hanya sejuk dan sepi, Gambung adalah salah satu tempat bersejarah di wilayah Priangan.
Ya, Gambung merupakan tempat komoditas teh dan kina terbaik yang ada di Wilayah Priangan. Tempat ini pun dulunya merupakan tempat tinggal Rudolf Eduard Kerkhoven (anak dari Rudolf Karel Kerkhoven).
Siapakah R.E. Kerkhoven ini? Ternyata, R.E. Kerkhoven adalah salah satu dari Preanger Planters yang termashur di wilayah Priangan. Preanger Planters sendiri adalah sebutan untuk orang-orang Belanda yang memajukan wilayah Priangan, karena kontribusi mereka dalam bidang ekonomi, sosial bahkan seni budaya. Beberapa nama Preanger Planters yang termasyhur diantaranya R.E. Kerkhoven, Karel. Albert. Rudolf (K.A.R.) Bosscha, Van der Hucht, Adrianus de Wilde, Karel Frederick Holle, John Henry van Blommstein, Franz Wilhelm Junghuhn, dan lain-lain.  
Umumnya, mereka adalah bangsawan Belanda yang menjalankan usaha perkebunan, kebanyakan teh di beberapa daerah wilayah Priangan, seperti Ciwidey, Pangalengan, Garut, Bogor dan lain-lain. Hasil perkebunan memang menjadi salah satu komoditas yang menarik bagi Belanda untuk kemudian dijual di wilayah Eropa. Pasalnya, beberapa negara di Eropa seperti Inggris memiliki tradisi minum teh.
Para Preanger Planters yang tersebar di wilayah Priangan, datang ke tanah Sunda dengan berbagai macam alasan. Mereka datang sejak masa Belanda mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pasca VOC sebagai perusahaan dagang yang didirikan pemerintahan Belanda bangkrut, beberapa areal perkebunan kopi dan teh menjadi terbengkalai. Maka, pengelolaannya diserahkan ke swasta/perorangan yakni keluarga para Preanger Planters ini. Salah satunya yang berlokasi di Gambung - Pasir Jambu - Ciwidey. 
R.E. Kerkhoven, datang ke Jawa dalam kondisi belum memiliki pengalaman tentang pengelolaan perkebunan tahun 1870. Ia pun belajar pengelolaan perkebunan ke pamannya yang menguasai perkebunan teh Waspada di Garut, keluarga Holle. Setelah itu, ia mulai membuka lahan perkebunan teh di Gambung, Pasir Jambu, Ciwidey tahun 1873. Lahan ini awalnya perkebunan kopi milik pemerintah kolonial Belanda yang terbengkalai.
Meski sulit, Kerkhoven tetap berusaha meankan usaha perkebunan the di Gambung. Tak seperti bangsawan-bangsawan Belanda yang selalu bermewah-mewahan atau nongkrong di pusat kota seperti Braga, Kerkhoven lebih senang membaca di depan rumahnya sambil mengawasi para pekerja perkebunan. Terkadang ia berkeliling perkebunan dan menikmati udara segar di areal perkebunan yang hijau. Bahkan, tak sedikit pekerjanya yang menyebut Kerkhoven adalah tuan tanah yang pendiam dan tidak berlagak juragan.
Jenny Bisschop

Kerkhoven kemudian menikah dengan seorang gadis Belanda yang cantik bernama Jenny Henriette Roosegaarde Bisschop, yang merupakan cicit dari Daendels. Mereka menikah tahun 1878 dan dikarunia lima orang anak, yaitu Rudolf Albert Kerkhoven, Eduard Silvester Kerkhoven, Emilius Hubertus Kerkhoven, Karel Felix Kerkhoven dan Bertha Elisabeth Kerkhoven. Kerkhoven pun mempersembahkan perkebunan ini sebagai bukti cintanya untuk Jenny. Sayangnya, semua ini seolah tidak berarti bagi Jenny yang ternyata tidak betah tinggal di daerah pegunungan. Ia lebih suka tinggal di kota besar dengan segala fasilitas dan kemudahan lainnya. Terlebih, di awal-awal pengelolaan perkebunan Gambung, kehidupan Kerkhoven masih pas-pasan. Hal ini pun seolah menjadi bom waktu, karena Jenny menyimpan ketidakbahagiaan tinggal di Gambung bersama Kerkhoven.
Akhirnya, bom waktu itu meledak di tahun 1907, dimana Jenny ditemukan meninggal, setelah menonton pacuan kuda di Tegallega. Hasil pemeriksaan dokter mengatakan, ia mengalami gangguan saraf. Namun, pembantunya, Babu Engko memberi kesaksian lain. Menurutnya, Jenny meninggal setelah ia menenggak racun. Kerkhoven bersedih dan merasa terpuruk setelah ditinggalkan istri tercnta. Ia pun harus mengasuh kelima anaknya yang mulai beranjak dewasa. Padahal, saat itu usaha Kerkhoven sudah mengalami kemajuan dan menjadi penghasil teh dan kina terbaik yang dikirim ke Eropa.  
Tahun 1918, R.E. Kerkhoven meninggal di usia 69 tahun. Ia pun dimakamkan di dekat areal perkebunannya, di Gambung bersebelahan dengan kuburan istrinya, Jenny. Sementara semua anaknya tidak ada yang meneruskan usaha perkebunan teh  dan memilih tinggal di Belanda.    
Kini, Gambung tetap menghasilkan teh dengan kualitas baik, dan sudah diakuisisi pemerintah Indonesia, sejak masa kemerdekaan. Di wilayah ini berdiri Pabrik Teh hijau dan Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung. 

Perkebunan dan Pabrik Teh Hijau Gambung

No comments: